bla

bla
bla

Selasa, 26 Juni 2012

MINGGU 9 ANGGARAN PENDAPATAN & BELANJA NEGARA (APBN)

1.   PERKEMBANGAN DANA PEMBANGUNAN INDONESIA
Dari segi perencanaan pembangunan di Indonesia, APBN adalah merupakan konsep perencanaan pembangunan yang memiliki jangka pendek, karena itulah APBN selalu disusun setiap tahun.
Seperti namanya, maka secara garis besar APBN terdiri dari pos-pos seperti di bawah ini:
·  Dari sisi penerimaan, terdiri dari pos penerimaan dalam negeri dan penerimaan pembangunan
·  Sedangkan dari sisi pengeluaran terdiri dari pos pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan
APBN disusun agar pengalokasian dana pembangunan dapat berjalan dengan memperhatikan prinsip berimbang dan dinamis. Hal tersebut perlu diperhatikan mengingat tabungan pemerintah yang berasal dari selisih antara penerimaan dalam negeri dengan pengeluaran rutin, belum sepenuhnya menutupi kebutuhan biaya pembangunan di Indonesia.
Meskipun dari PELITA ke PELITA jumlah tabungan pemerintah sebagai sumber pembiayaan pembangunan terbesar, terus mengalami peningkatan (lihat tabel 5.1.), namun kostribusinya terhadap keseluruhan dana pembangunan yang dibutuhkan masih jauh dari yang diharapkan. Dengan kata lain ketergantungan dana pembangunan terhadap sumber lain, dalam hal ini pinjaman luar negeri, masih cukup besar. Namun demikian mulai tahun terakhir PELITA I, presentase tabungan pemerintah sudah mulai lebih besar dibanding pinjaman luar negeri. Hal ini tidak terlepas dari peranan sektor migas yang saat itu sangat dominan, serta dengan dukungan beberapa kebijaksanaan pemerintah dalam masalah perpajakan dan upaya peningkatan penerimaan negara lainnya.
Untuk menghindari terjadinya defisit anggaran pembangunan, Indonesia masih mengupayakan sumber dana dari luar negari, dan meskipun IGGI (Inter Governmental Group on Indonesian) bukan lagi menjadi forum Internasional yang secara formal membantu pembiayaan pembangunan di Indonesia, namun dengan lahirnya CGI (Consoltative Group on Indonesian) kebutuhan pinjaman luar negeri sebagai dana pembangunan masih dapat diharapkan.
Yang perlu diingat, bahwa sebaiknya pinjaman tersebut ditempatkan sebagai pelengkap pembangunan dan peran tabungan pemerintahlah yang tetap harus dominan, bukan sebaliknya.
TABEL 5.1.
TABUNGAN PEMERINTAH, 1969/70 – 1992/93
(dalam miliar rupiah)
TAHUN ANGGARAN
JUMLAH
KENAIKAN (+)
PENURUNAN (-)
REPELITA I
1969/70
1970/71
1971/72
1972/73
1973/74
27,2
53,9
78,9
152,5
254,4
+ 26,7
+ 22,5
+ 73,6
+ 101,9
REPELITA II
1974/75
1975/76
1976/77
1977/78
1978/79
737,6
909,3
1.276,2
1.386,5
1.522,4
+ 483,2
+ 171,7
+ 366,9
+ 110,3
+ 135,9
REPELITA III
1979/80
1980/81
1981/82
1982/83
1983/84
2.635,0
4.427,0
5.235,0
5.422,0
6.020,9
+ 1.112,6
+1.792,0
+ 808,0
+ 187,0
+ 598,8
REPELITA IV
1984/85
1985/86
1986/87
1987/88
1988/89
6.476,5
7.301,3
2.581,3
3.321,8
2.265,3
+ 455,6
+ 824,8
- 4.720,0
REPELITA V
1989/90
1990/91
1991/92
1992/93*)
4.408,7
9.548,7
11.357,2
13.311,8
+ 2.143,4
+ 5.140,0
+ 1.808,5
+ 1.954,6
TABEL 5.2.
PENGELUARAN PEMBANGUNAN BERDASARKAN SUMBER PEMBIAYAAN
1969/70 – 1992/93*
(dalam miliar rupiah)
TAHUN
TABUNGAN PEMERINTAH
%
BANTUAN LUAR NEGERI
%
JUMLAH**
%
REPELITA I
1969/70
1970/71
1971/72
1972/73
1973/74
27,2
53,9
78,9
152,5
254,4
23,0
31,9
36,8
49,1
55,5
91,0
120,4
135,5
157,8
203,9
77,0
68,1
50,9
50,9
44,5
118,2
176,8
214,4
310,3
458,3
100
100
100
100
100
REPELITA II
1974/75
1975/76
1976/77
1977/78
1978/79
737,6
909,3
1.276,2
1.386,5
1.522,4
76,1
64,9
62,0
64,2
59,6
232,0
491,6
783,8
773,4
1.035,5
23,9
35,1
38,0
35,8
40,4
969,6
1.400,9
2.060,0
2.159,9
2.557,9
100
100
100
100
100
REPELITA III
1979/80
1980/81
1981/82
1982/83
1983/84
2.635,0
4.427,0
5.235,0
5.422,0
6.020,9
65,6
74,8
75,4
73,6
60,8
1.381,1
1.493,8
1.709,0
1.940,0
3.882,4
34,4
25,2
24,6
26,4
39,2
4.016,1
5.920,8
6.944,0
7.362,0
9.903,3
100
100
100
100
100
REPELITA IV
1984/85
1985/86
1986/87
1987/88
1988/89
6.476,5
7.301,3
2.581,3
3.321,8
2.265,3
65,1
67,1
31,0
35,0
18,5
3.748,0
3.572,6
5.752,2
6.158,0
9.990,7
34,9
32,9
69,0
65,0
81,5
9.954,4
10.873,9
8.333,5
9.479,8
12.256,0
100
100
100
100
100
REPELITA V
1989/90
1990/91
1991/92
1992/93***)
4.408,7
9.548,7
11.357,2
13.311,8
31,9
49,1
52,2
58,1
9.429,3
9.904,6
10.409,1
9.600,2
68,1
50,9
47,8
41,9
13.838,0
19,453,3
21.766,3
22.912,0
100
100
100
100
*   Untuk tahun 1969/70 – 1991/92 adalah angka realisasi sesuai dengan UU APBN T/P tahun yang bersangkutan
**    Termasuk saldo anggaran lebih
 *** APBN
Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari tabel 5.2. diantaranya adalah:
·   Kebijaksanaan yang ditempuh pemerintah dengan mengupayakan tambahan sumber dana pembangunan sudah cukup tepat. Hal ini disebabkan resiko yang harus dihadapi dengan pinjaman luar negeri tersebut relatif lebih ringan dibandingkan dengan resiko jika pemerintah menutup kekurangan anggaran pembangunannya dengan melakukan peminjaman kepada Bank Sentral (BI).
·  Resiko yang dihadapi pemerintah dan masyarakat jika kekurangan dibiayai dengan pinjaman Bank Sentral, bahwa ada kemungkinan Bank Sentral akan mencoba memenuhi pinjaman tersebut dengan cara mencetak uang baru. Akibatnya jumlah uang yang beredar terlalu besar dari yang sebenarnya dibutuhkan. Jika pencetakan uang baru tersebut tidak diimbangi dengan peningkatan produksi dan tersedianya komoditi kebutuhan masyarakat, yang akan terjadi adalah kecenderungan kenaikan harga, yang berarti laju inflasi akan meningkat (ingat bahwa inflasi merupakan salah satu dari tiga penyakit pokok perekonomian yang perlu diwaspadai).
·  Adapun resiko jika kekurangan dana ditutupi dengan pinjaman luar negeri adalah adanya kewajiban mengembalikan pinjaman tersebut berikut bunganya, hal ini akan semakin ringan jika sifat pinjamannya adalah lunak dan jangka waktunya cukup panjang. Namun perlu diingat bahwa besarnya pinjaman tersebut dalam mata uang kita sangat dipengaruhi oleh konjungtur perekonomian dunia (kurs mata uang dolar terutama).
·  Pada awal PELITA, ternyata gabungan pemerintah masih sangat kecil peranannya (23%) dalam membiayai pembangunan di Indonesia, di mana sumber pembiayaan terbesar masih diperoleh dari pinjaman pinjaman luar negeri (77%). Keadaan ini berbalik pada periode pertengahan PELITA III, di mana rata-rata peran tabungan pemerintah adalah 74%. Hal ini dapat dimengerti mengingat saat itu harga minyak bumi di pasar Internasional sangat baik, sehingga banyak dana masuk ke Indonesia melalui sektor migas tersebut.
·   Namun jika kita perhatikan periode akhir PELITA IV, kondisi tabungan pemerintah sangat mengkhawatirkan, tercatat kontribusi tabungan pemerintah kepada dana pembangunan selama tiga tahun terakhir adalah 35,0%; 18,5%; dan 31,9%. Penyebab terjadinya kemerosotan tabungan pemerintah tersebut di antaranya adalah:
1. Terjadinya resesi dunia yang mengakibatkan turunnya harga minyak bumi, dan beberapa komoditi non-migas di pasaran dunia, hal ini berpengaruh terhadap turunnya penerimaan dalam negeri Indonesia.
2. Merosotnya nilai mata uang dolar Amerika (depresasi) terhadap mata uang asing, seperti Yen Jepang dan DM Jerman Barat. Karena nilai rupiah ternyata masih dikaitkan dengan dolar Amerika tersebut, maka perekonomian Indonesia-pun ikut dirugikan dengan kejadian tersebut.
Untuk memberi ilustrasi terhadap pengaruh depresiasi dolar terhadap perekonomian Indonesia, kita gunakan kasus di bawah ini:
1. Dengan depresiasi dolar tersebut nilai beban hutang luar negeri kita terhadap Jepang (misalnya) akan menjadi bertambah besar, karena jika:
Keadaan Sebelum Depresiasi
Indonesia memiliki hutang luar negeri kepada Jepang, dalam bentuk mata uang Yen sebesar 1.000.000 Y, di mana kurs saat itu diasumsikan:
1$ = Rp 1.500,-
1$ = 25 Y
Untuk mengetahui nilai hutang Indonesia dalam rupiah, kita lakukan perhitungan ‘cross rate’ antara Rupiah dan Yen, perhitungannya:
Cross Rate Rp/Y = Rp/$ × $/Y = 1.500/1 × 1/25 = 60
Jadi untuk 1 Y akan dihargai Rp 60,-.
Dan karena itu memiliki hutang sebesar 1.000.000 Y, maka nilai hutang tersebut dalam rupiah adalah: 1.000.000 Y × Rp 60,- = Rp 60.000.000
Keadaan Setelah Depresiasi Dolar
1$ = Rp 1.500,-
1$ = 20 Y (dolar merosot nilainya, artinya diperlukan lebih sedikit Yen untuk mendapatkan dolar)
Cross Rate Rupiah tehadap Yen = Rp/Y = Rp/$ x $/Y = 1.500/1 x 1/20 = Rp 75/Y
Artinya setelah terjadi depresiasi dolar, nilai 1 Yen Jepang sama dengan Rp 75,- dengan kata lain mata uang Rupiah-pun mengalami depresiasi terhadap Yen. Sehingga nilai hutang Indonesia saat itu menjadi:
1.000.000 Y x Rp 75,- = Rp 75.000.000,-
Kesimpulannya adalah, bahwa dengan merosotnya nilai dolar terhadap Yen, maka akan menyebabkan nilai hutang luar negeri kita terhadap Jepang ikut membengkak sebesar Rp 15.000.000,- (Rp 75.000.000 – Rp 60.000.000).
2. Dengan depresiasi dolar itu akan menyebabkan juga semakin mahalnya komoditi-komoditi impor yang berasal dari Jepang. Sebagai contoh: Jika kita akan mengimpor 1.000 unit komponen mesin seharga 5.000 Y, maka:
· Sebelum depresiasi dolar, kita cukup mengeluarkan 5.000 Y x Rp 60,- = Rp 300.000,- untuk mendapatkan 1.000 unit komponen mesin tersebut.
·  Namun setelah terjadi depresiasi kita harus mengeluarkan 5.000 Y x Rp 75,- = Rp 375.000,- untuk mendapatkan komponen tersebut. Artinya kita harus mengeluarkan dana tambahan sebesar Rp 75.000,- untuk tiap 1.000 unit komponen mesin.
Dari kedua ilustrasi sederhana di atas terlihat bagaimana kondisi perekonomian luar negeri saat itu sangat mempengaruhi perekonomian kita. Sehingga dapat dimengerti mengapa pada periode tersebut tabungan pemerintah mengalami penurunan yang cukup drastis.
Langkah pemerintah untuk memperbaiki keadaan anggaran pembangunan tersebut antara lain dengan menerapkan prinsip anggaran yang berimbang dan dinamis. Berimbang dalam arti pemerintah berusaha bahwa pengeluaran pemerintah akan selalu disesuaikan dengan penerimaannya. Sedangkan dinamis diartikan bahwa akan selalu diusahakan adanya peningkatan yang terus menerus terhadap penerimaan negara sesuai dengan peningkatan kegiatan pembangunan di Indonesia.
Langkah lainnya adalah dengan selalu bertumpu pada TRILOGI PEMBANGUNAN dalam setiap perencanaan pembangunan yang akan dilakukan.
2. PROSES PENYUSUNAN ANGGARAN
Secara garis besar proses penyusunan anggaran pembangunan di Indonesia dapat dilihat dalam tabel berikut ini:
TABEL 5.3.
GAMBARAN UMUM
PROSES PENYUSUNAN ANGGARAN PEMBANGUNAN DI INDONESIA
NO.
KEGIATAN
SEPT-OKT
NOV
DES
JAN
FEB
MAR
APRIL
s/d MEI
1.
Pengajuan DUP/DUK DEPT/LPND ke BAPPENAS
2.
Penyusunan satuan 3 oleh Biro Sektor, BAPPENAS
3.
Penentuan Platfon Anggaran (RAPBN TA. 1993/1994)
4.
Nota Keuangan dan RAPBN diajukan ke DPR oleh Presiden RI (Minggu pertama Januari)
5.
Pembahasan/ Penyusunan satuan 3/A dan alokasi dana proyek ke DIP (Ditjen Anggaran BAPPENAS-Pimpro Bendaharawan Proyek)
6.
Penyampaian DIP ke daerah (Gubernur Kepala Daerah)
Tabel 5.3. di atas dapat dijelakan sebagai berikut:
· Penyusunan anggaran biasanya menggunakan tahun fiskal dan bukan tahun masehi, sehingga proses penyusunan oleh Dapertemen atau Lembaga pemerintah Non Dapertemen sudah dimulai pada tanggal 1 April tahun yang bersangkutan. Oleh keduanya usulan rencana anggaran diajukan dalam bentuk Daftar Usulan Kegiatan (DUK) bagi anggaran rutin dan dalam bentuk Daftar Usulan Proyek (DUP) untuk anggaran pembangunan.
·  Selanjutnya DUK dan DUP tersebut, antara bulan Agustus dan September akan diajukan dengan dan disampaikan ke BAPPENAS dan Ditjen Anggaran Dapertemen Keuangan. Selanjutnya DUK dan DUP tersebut akan diproses oleh BAPPENAS antara bulan Oktober hingga November.
· Pada proses tersebut BAPPENAS akan menyesuaikan isi DUK dan DUP dengan perkiraan penerimaan dalam negeri dalam tahun anggaran yang bersangkutan. Selanjutnya dalam bulan Desember akan ditentukan batas atas (plafon) anggaran untuk tahun anggaran yang bersangkutan dalam bentuk RAPBN (Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara).
·  Pada bulan Januari, setelah RAPBN tersebut dilampiri/ disertai keterangan dari pemerintah dengan Nota-Keuangan, akan disampaikan oleh Presiden dihadapan Sidang Dewan Perwakilan Rakyat guna mendapat persetujuan seperti yang tersirat dalam pasal 23 ayat (1) UUD 1945.
·  Selanjutnya RAPBN tersebut akan dibahas oleh DPR bersama-sama dengan Menteri atau Ketua Lembaga yang bersangkutan melalui Rapat Kerja Komisi APBN.
·  Jika dalam pembahasan tersebut dicapai suatu kesepakatan (persetujuan) maka RAPBN untuk tahun anggaran yang bersangkutan tersebut, persetujuannya akan dituangkan dalam UU tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun Anggaran.../...
·  Selanjutnya anggaran yang telah disetujui pemerintah tersebut akan dituangkan kembali dalam bentuk Daftar Isian Proyek (DIP) Dapertemen atau Lembaga Pemerintah yang bersangkutan.
3.  PERKIRAAN PENERIMAAN NEGARA
Secara garis besar sumber penerimaan negara berasal dari:
a.  Penerimaan dalam negeri
Pertama, penerimaan dalam negeri, untuk tahun-tahun awal setelah masa pemerintahan Orde Baru masih cukup menguntungkan pada penerimaan dari ekspr minyak bumi dan gas alam. Hal ini dapat dilihat dalam Tabel 5.4. berikut ini:
TABEL 5.4.
PERBANDINGAN SUMBER PENERIMAAN DALAM NEGERI, PELITA I-III
(dalam persentase)
PERIODE
PENERIMAAN DARI SEKTOR MIGAS
PENERIMAAN DARI SEKTOR NON-MIGAS
PENERIMAAN BUKAN PAJAK
PENERIMAAN TOTAL
PELITA I
1969/70 – 1973/74
35.7 %
59,3 %
5,0 %
100 %
PELITA I
1974/75 – 1978/79
55,1 %
40,7 %
4,2 %
100 %
PELITA I
1979/80 – 1983/84
67,2 %
29,6 %
3,2 %
100 %
Namun dengan mulai tidak menentunya harga minyak dunia, maka mulai disadari bahwa ketergantungan dari sektor migas perlu dikurangi. Untuk keperluan itu, maka pemerintah menempuh beberapa kebijaksanaan di antaranya:
·  Deregulasi bidang Perbankan (1Juni 1983), yakni dengan mengurangi peran Bank Sentral, serta lebih memberi hak kepada Bank Pemerintah maupun Swasta untuk menentukan suku bunga deposito dan pinjaman sendiri. Dampak dari deregulasi ini adalah meningkatnya tabungan masyarakat.
· Deregulasi bidang perpajakan (UU baru, 1 Januari 1984), untuk memperbaiki penerimaan negara.
·  Kebijaksanaan-kebijaksanaan lain yang selanjutnya dapat menciptakan iklim usaha yang lebih sehat dan mantap.
b.  Penerimaan pembangunan
Meskipun telah ditempuh berbagai upaya untuk meningkatkan tabungan pemerintah, namun karena laju pembangunan yang demikian cepat, maka dana tersebut masih perlu dilengkapi dengan dan ditunjang dengan dana yang berasal dari luar negeri. Meskipun untuk selanjutnya bantuan luar negeri (hutang bagi Indonesia) tersebut makin meningkat jumlahnya, namun selalu diupayakan suatu mekanisme pemanfaatan dengan prioritas sektor-sektor yang lebih produktif. Dengan demikian bantuan luar negeri tersebut dapat dikelola dengan baik (terutama dalam hal pengembalian cicilan pokok dan bunganya).
4. PERKIRAAN PENGELUARAN
Secara garis besar, pengeluaran negara dikelompokkan menjadi dua yakni:
·   Pengeluaran rutin
Pengeluaran rutin negara, adalah pengeluaran yang dapat dikatakan selalu ada dan telah terencana sebelumnya secara rutin, di antaranya:
a.    Pengeluaran untuk belanja pegawai
b.   Pengeluaran untuk belanja barang
c.    Pengeluaran untuk subsidi daerah otonom
d.   Pengeluaran untuk membayar bunga dan cicilan hutang
e.   Pengeluaran lain-lain
·      Pengeluaran pembangunan
Secara garis besar, yang termasuk dalam pengeluaran pembangunan di antaranya adalah:
a. Pengeluaran pembangunan untuk berbagai departemen/ lembaga negara, di antaranya untuk membiayai proyek-proyek pembangunan sektoral yang menjadi tanggung jawab masing-masing departemen/ lembaga negara bersangkutan.
b.  Pengeluaran pembangunan untuk anggaran pembangunan daerah (Dati I dan II).
c.   Pengeluaran pembangunan lainnya.
5. DASAR PERHITUNGAN PERKIRAAN PENERIMAAN NEGARA
Untuk memperoleh hasil perkiraan penerimaan negara, ada beberapa hal pokok yang harus diperhatikan. Hal-hal tersebut adalah:
·     Penerimaan dalam negeri dari migas
Faktor-faktor yang dipertimbangkan adalah:
a.   Produksi minyak rata-rata per hari
b.   Harga rata-rata ekspor minyak mentah
·      Penerimaan dalam negeri di luar migas
Faktor-faktor yang dipertimbangkan adalah:
a.     Pajak penghasilan
b.    Pajak pertambahan nilai
c.     Bea masuk
d.    Cukai
e.    Pajak ekspor
f.      Pajak bumi dan bangunan
g.     Bea materai
h.    Pajak lainnya
i.      Penerimaan bukan pajak
j.     Penerimaan dari hasil penjualan BBM
·    Penerimaan pembangunan
Terdiri dari penerimaan bantuan program dan bantuan proyek.

sumber : http://mifta-huljannah.blogspot.com/2012/04/minggu-9-anggaran-pendapatan-belanja.html   
sumber  :digital book ATA 2011-2012

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar